Kajian


Minggu, 02 Desember 2007

Menyoal Perempuan Dalam Budaya Sunda

Oleh Iva Fahmiawati*


Pagi itu matahari cerah. Mahasiswa, karyawan, dosen dan pihak rektorat pun menjalani aktivitas seperti biasanya. Di dalam Auditorium IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, kursi-kursi berderetan rapih bak anak sekolahan yang lagi upacara tiap hari senin. Didepannya terpampang spanduk berukuran “biasa” berwarna dasar biru, bertuliskan “Seminaar Kebudayaan”

Sementara, di samping kiri dan kanan spanduk pun tidak luput dari sederetan tokoh-tokoh filsafat dan kerapkali terdapat pernak-pernik—lukisan abstrak—guna menghiasi keindahaan ruangan tersebut

Walau sempat molor beberapa jam, acara yang diaadakaan oleh HIMA Aqidah Filsafat dan Lembaga Kajian Perempuan (L-KaP) GPMI dalam rangka MILAD XVI HIMA Aqidah Filsafat. Namun, apalah daya tangan tak sampai, hanya dengan hitungan jari saja mahasiswa yang nampak hadir dalam seminar kebudayaan itu. “Perempuaan Dalam prespektif Budaya Sunda” menjadi tema acara yang diadakan Rabu beberapa pekan lalu.

Meskipun demikian, acara seminar kebudayaan ini tergolong sukses, karena beberapa pembicara yang direncanakan oleh panitia semuanya hadir, seperti Drs. A. Gibshon Al-Bustomie, yang menyoroti peran perempuan dalam struktur mitologi sunda—berpijak pada tinjauan filosofis; Titin Nurhayati Makmun, yang menyoroti peran perempuan sunda dari birokrasi; Hawe Setiawan, yang melihat peran perempuan Sunda ini dalam perspektif budaya; dan yang terakhir Miftah Suhur, yang lebih menyoroti permasalahan ini dari pandangan media—melalui pendekatan culture studies. karena beliau merupakan salah satu staf redaksi dalam jurnal Srintil Desantara.

Perempuan, memang menarik untuk di komentari. Apalagi jika masalah perempuan ini dikaitkan dengan budaya local terutama budaya Sunda yang sangat kental dengan struktur mitologi–yang mendarah daging peran perempuan dalam segala ranah perekembangan kehidupan sekarang ini. Citra positif dan negative persoalan perempuan dalam prespektif budaya Sunda pun ikut mewarnai dalam seminar kebudayaan itu.

Konon, perempuan Sunda merupakan perempuan yang memiliki citra negative, seperti halnya yang digambarkan oleh majalah Male Imporium (ME) No. 49 Edisi Februari 2005 yang disebar luaskan dalam Portal CBN (Cyber Man) online, 5 maret 2005.

ME melontarkan tuduhan yang dapat menimbulkan salah penafsiran yang berdampak pada peran perempuan Sunda; pertama, tuduhan itu ditujukan pada semua perempuan Sunda karena tidak ada klasifikasi perempuan Sunda dari golongan mana dan dalam wacana seperti apa.

Kedua, bahwa dibalik kecantikan perempuan sunda itu, katanya, tersembunyi berbagai sifat negatif, mulai dari pemalas, suka bersolek, dan bergaya seperti orang-orang kaya, sampai selalu mengandalkan pendapatan dari suaminya.

Ketiga, selain menuduh ME juga memperbandingkan perempuan sunda dengan suku jawa. Menurutnya bahwa perempuan jawa itu senang bekerja, dan bekerja sebagai sebuah kehormatan, lain halnya dengan perempuan sunda.

Keempat, ada sinyalemen bahwa perempuan sunda lebih suka menjual dirinya untuk mendapatkan sesuatu yang tak halal dari pada harus bekerja.( lebih lanjut baca HU Pikiran Rakyat 20/5)

Citra negative perempuan sunda itu, disangkal Ilrah, seorang pengajar FPBS UPI Chye Retty Isnendes dalam harian umum PR tanggal 20 Mei 2005. ia mengatakan bahwa tuduhan ME diatas sangat menyinggung seluruh perempuan Sunda, sebab hal itu terlalu mengenalisir citra negaif itu pada perempuan Sunda, yang lebih parahnya lagi tuduhan itu, tidak didasarkan dengan fakta-fakta yang real dilapangan, karena sumber informasi itu hanya didapat dari seorang dosen dan aktivis yang kedua-duanya adalah laki-laki, jadi terlihat jelas oleh kita bahwa ideology tertentu—patriarkhi–sangat kental terlihat disini.

Hal senadapun diungkapkan oleh Drs. A. Ghibshon, yang sangat mengangkat sisi positif perempuan Sunda ini dengan melihat dari struktur mitologi Sunda yang lebih didasarkan pada tinjauan filosofinya. Pada struktur mitologi Sunda lebih terfokus pada mitologi perempuan, karena perempuan di tempatkan sebagai penguasa yang merupakan wujud manifestasi sifat –sifat kelangitan. Seperti dalam cerita legenda Lutung Kasarung, yang diawali dan diakhiri dengan figure seorang perempuan; Sunan Ambu–guru minda; dan Purbasari sebagai tokoh sentralnya. Ujar budayawan Sunda ini.

Masih menurut Gibshon, panggilan akrabnya. Berujar bahwa perempuan sangat berperan penting dalam keberhasilan dan eksistensi laki-laki yang termanifestasikan dari substansi perempuan. Jadi, dapat dipahami dan dipastikan bahwa antara laki-laki dan perempuan ada relasi timbal balik yang tentunya dapat saling mengisi dan melengkapi. Tegasnya.

Berbeda dengan pendapat pembicara pertama ini, Titin Nurhayati, makmun yang lebih melihat bahwa selain sisi positif perempuan Sunda juga terdapat sisi negative perempuan Sunda yang terdapat dalam legenda-legenda budaya Sunda, seperti dalam legenda Wawasan Sejarah galuh, dan legenda Carios Munada. Keberadaan perempuan pada saat itu sangat terpuruk, dan perempuan acap kali dijadikan sebagai alat guna memenuhi kebutuhan para penguasa saja.Ungkapnya.

Berdasarkan hal di atas, maka wajar kalau ada citra negatif yang dialamatkan kepada perempuan Sunda. Karena ia mengalami pencitraan tersebut. Terutama ketika ia akan menikah dengan orang yang bukan berasal dari suku Sunda itu. Ia ditanya bagaimana sosok ia sebagai pertempuan Sunda, seperti apakah ia matre, suka bersolek, pemalas dls. Jelasnya.

Walaupun demikian, masih menurut pengurus Persistri ini, Ia membuktikannya dengan cara terus mencari pengetahuan, karena dengan pendidikan baik agama ataupun pendidikan yang lainnya, sebab jika perempuan sudah memiliki pengetahuan yang banyak tentang sesuatu hal, maka perempuan tidak akan menalami keterpurukan. Ia juga memberikan criteria perempuan ideal Sunda, yang menurutnya perempuan yang seolah-olah yang dapat merubah stereotip perempuan sunda ini.Tegasnya.

Lebih lanjut, Ia mengutip tulisan Waluya dari internet, yang mengatakan bahwa posisi budaya Sunda menjadi terpasung ketika islam datang, sebab pada waktu itu lagi gencaar-gencarnya dan marak terjadi penyerapan budaya Arab. Sehingga terjadilah pengadopsi dan pengkreasian nilai-nilai dari budaya yang berbeda pula. Hal itu tidak terlepas dari sejarah penjajahan, yang menggolongkan perempuan dalam 4 golongan, yakni golongan colonial; golongna pedangang cina; golongna menak; dan golongan rakyat biasa. Kemudiaan dari golongna yang ke empat inilah, yang kelaak pada akhirnya akan menjadi korban penindasan, karena ia menjadi cetral penindasan. Tutur perempuan yang sebentar lagi akan menyelesaikan doisertasinya di UNPAD

Sementara itu, menurut Hawe Setiawan, yang lebih condong memandang perempuan Sunda dari kaca mata budaya ini, menekankan paling tidak ada dua hal yang menyebabkan munculnya citra negative perempuan sunda dalam media masa. Pertama, stereotype, yaitu kesan umum yang bersifat negative, seperti yang pernah ramai baru-baru ini tentang tuduhan majalah ME yang disebarluaskan di internet, yang tidak didasarkan dengan penelitian yang akurat, selanjutnya dalam sinetron bajaj bajuri, tokoh mpok minah dalam cerita itu di stereotypekan bahwa perempuan sunda itu pemalu, karena ia selalu memulai pembicaraan dengna kata “maaf”, dan masih banayk lagi contoh lain yang menggambarkan sosok perempuan sunda. Ungkap Redaktur Budaya PR itu.

Kedua, ideal tipe yaitu citra ideal perempuan Sunda. Dalam artian, ideal tipe ini tiak ada kejelasan tentang standarisasi perempuan sunda yang ideal tersebut. Tuturnya

Dari dua permaslahan di atas, dapat ditanggulanggi dengan cara menaydarkan pada para perempuan baik dari suku Sunda ataupun yang lainnya untuk bangkit dan lebih kritis, serta sadar diri akan keber-ada-annya dalam menghadapi kehidupan ini, demi kemajuan perempuan pada arah yang lebih progresif. seperti terungakap dalam pepatah Sunda “ moal ngarih lamun teu ngarah, Ngindung ka waktu ngabapa ka zaman” (maksudnya Allah tidak akan merubah kaum jika ia tidak merubahnya sendiri, perubahan itu tidak akan terjadi, bila terlepas dari keterkaitan sejarah). Tegasnya.

Sedangkan menurut Suhur bahwa kebudayaan dari suatu daerah tidak akan sama nilainya dengan kebudayaan di daerah lainnya, bigitupun juga jika dikaitkan dengan masalah perempuannya. Nah, inilah suatu kesalahan para penggerak feminis yang cenderung menyamaratakan problem perempuan dan laki-laki dalam setiap kebudayaan. Seperti dalam budaya di lombok NTB tentang komunitas janda lombok yang nikah cerai sebanyak 3-4 kali memilki status sosial yang tinggi, disebanding perempuan yang lain. Lantas, apakah sama dengan budaya sunda yang cenderung menyalahkan poliandri ini?. Tegasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, keterpuruka perempuan dalam media masa itu, diakibatkan berkembangnya budaya kapitalisme yang sangat pesat sekaligus mengeksploitasi kaum perempuan. Namun, tetap itu dikembalikan pada keenjoyan perempuan dalam budayanya tersebut. Tuturnya

Berkenaan dengan digelarnya Seminar kebudayaan ini, tentunya dimaksudkan sebagai wahana penyadaran terhadap perempuan sunda khususnya dan perempuan suku lain pada umumnya dalam menunjukan eksistensi dirinya dalam segala ranah kehidupan, serta selalu waspada akan ideology patriarki yang terus mengakar, bahkan mendarah-daging pemahaman itu dalam setiap kebudayaan, khususnya budaya di Indonesia, Ungkap Tatan Tarmaya selaku ketua L-KaP GPMI ini, dalam sambutannya.

Terlepas darti kontrofersi citra positif dan negative terhadap perempuan sunda ini, selayaknya hal itu jangan sampai dijadikan legitimasi terhadap perempuan dalam menampakan jati dirinya. Apologi apalagi. Dengan demikian, semestinya tidak ada lagi dalih untuk mengkungkung peran perempuan dalam kebudayaanya.

Thus, melalui seminar kebudayaan ini, orang bias mengenal bagaimanan perempaun dalam perespektif budaya Sunda, sebagai wujud penghargaan putra dan putri daerah dalam memajukan kebudayaannnya di mata nasional dan internasional. Semoga []

*Partisipan WSC, kini tinggal di Banten.

posted by wscbandung @ 21.46,