Kajian


Minggu, 02 Desember 2007

Menyoal Perempuan Dalam Budaya Sunda

Oleh Iva Fahmiawati*


Pagi itu matahari cerah. Mahasiswa, karyawan, dosen dan pihak rektorat pun menjalani aktivitas seperti biasanya. Di dalam Auditorium IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, kursi-kursi berderetan rapih bak anak sekolahan yang lagi upacara tiap hari senin. Didepannya terpampang spanduk berukuran “biasa” berwarna dasar biru, bertuliskan “Seminaar Kebudayaan”

Sementara, di samping kiri dan kanan spanduk pun tidak luput dari sederetan tokoh-tokoh filsafat dan kerapkali terdapat pernak-pernik—lukisan abstrak—guna menghiasi keindahaan ruangan tersebut

Walau sempat molor beberapa jam, acara yang diaadakaan oleh HIMA Aqidah Filsafat dan Lembaga Kajian Perempuan (L-KaP) GPMI dalam rangka MILAD XVI HIMA Aqidah Filsafat. Namun, apalah daya tangan tak sampai, hanya dengan hitungan jari saja mahasiswa yang nampak hadir dalam seminar kebudayaan itu. “Perempuaan Dalam prespektif Budaya Sunda” menjadi tema acara yang diadakan Rabu beberapa pekan lalu.

Meskipun demikian, acara seminar kebudayaan ini tergolong sukses, karena beberapa pembicara yang direncanakan oleh panitia semuanya hadir, seperti Drs. A. Gibshon Al-Bustomie, yang menyoroti peran perempuan dalam struktur mitologi sunda—berpijak pada tinjauan filosofis; Titin Nurhayati Makmun, yang menyoroti peran perempuan sunda dari birokrasi; Hawe Setiawan, yang melihat peran perempuan Sunda ini dalam perspektif budaya; dan yang terakhir Miftah Suhur, yang lebih menyoroti permasalahan ini dari pandangan media—melalui pendekatan culture studies. karena beliau merupakan salah satu staf redaksi dalam jurnal Srintil Desantara.

Perempuan, memang menarik untuk di komentari. Apalagi jika masalah perempuan ini dikaitkan dengan budaya local terutama budaya Sunda yang sangat kental dengan struktur mitologi–yang mendarah daging peran perempuan dalam segala ranah perekembangan kehidupan sekarang ini. Citra positif dan negative persoalan perempuan dalam prespektif budaya Sunda pun ikut mewarnai dalam seminar kebudayaan itu.

Konon, perempuan Sunda merupakan perempuan yang memiliki citra negative, seperti halnya yang digambarkan oleh majalah Male Imporium (ME) No. 49 Edisi Februari 2005 yang disebar luaskan dalam Portal CBN (Cyber Man) online, 5 maret 2005.

ME melontarkan tuduhan yang dapat menimbulkan salah penafsiran yang berdampak pada peran perempuan Sunda; pertama, tuduhan itu ditujukan pada semua perempuan Sunda karena tidak ada klasifikasi perempuan Sunda dari golongan mana dan dalam wacana seperti apa.

Kedua, bahwa dibalik kecantikan perempuan sunda itu, katanya, tersembunyi berbagai sifat negatif, mulai dari pemalas, suka bersolek, dan bergaya seperti orang-orang kaya, sampai selalu mengandalkan pendapatan dari suaminya.

Ketiga, selain menuduh ME juga memperbandingkan perempuan sunda dengan suku jawa. Menurutnya bahwa perempuan jawa itu senang bekerja, dan bekerja sebagai sebuah kehormatan, lain halnya dengan perempuan sunda.

Keempat, ada sinyalemen bahwa perempuan sunda lebih suka menjual dirinya untuk mendapatkan sesuatu yang tak halal dari pada harus bekerja.( lebih lanjut baca HU Pikiran Rakyat 20/5)

Citra negative perempuan sunda itu, disangkal Ilrah, seorang pengajar FPBS UPI Chye Retty Isnendes dalam harian umum PR tanggal 20 Mei 2005. ia mengatakan bahwa tuduhan ME diatas sangat menyinggung seluruh perempuan Sunda, sebab hal itu terlalu mengenalisir citra negaif itu pada perempuan Sunda, yang lebih parahnya lagi tuduhan itu, tidak didasarkan dengan fakta-fakta yang real dilapangan, karena sumber informasi itu hanya didapat dari seorang dosen dan aktivis yang kedua-duanya adalah laki-laki, jadi terlihat jelas oleh kita bahwa ideology tertentu—patriarkhi–sangat kental terlihat disini.

Hal senadapun diungkapkan oleh Drs. A. Ghibshon, yang sangat mengangkat sisi positif perempuan Sunda ini dengan melihat dari struktur mitologi Sunda yang lebih didasarkan pada tinjauan filosofinya. Pada struktur mitologi Sunda lebih terfokus pada mitologi perempuan, karena perempuan di tempatkan sebagai penguasa yang merupakan wujud manifestasi sifat –sifat kelangitan. Seperti dalam cerita legenda Lutung Kasarung, yang diawali dan diakhiri dengan figure seorang perempuan; Sunan Ambu–guru minda; dan Purbasari sebagai tokoh sentralnya. Ujar budayawan Sunda ini.

Masih menurut Gibshon, panggilan akrabnya. Berujar bahwa perempuan sangat berperan penting dalam keberhasilan dan eksistensi laki-laki yang termanifestasikan dari substansi perempuan. Jadi, dapat dipahami dan dipastikan bahwa antara laki-laki dan perempuan ada relasi timbal balik yang tentunya dapat saling mengisi dan melengkapi. Tegasnya.

Berbeda dengan pendapat pembicara pertama ini, Titin Nurhayati, makmun yang lebih melihat bahwa selain sisi positif perempuan Sunda juga terdapat sisi negative perempuan Sunda yang terdapat dalam legenda-legenda budaya Sunda, seperti dalam legenda Wawasan Sejarah galuh, dan legenda Carios Munada. Keberadaan perempuan pada saat itu sangat terpuruk, dan perempuan acap kali dijadikan sebagai alat guna memenuhi kebutuhan para penguasa saja.Ungkapnya.

Berdasarkan hal di atas, maka wajar kalau ada citra negatif yang dialamatkan kepada perempuan Sunda. Karena ia mengalami pencitraan tersebut. Terutama ketika ia akan menikah dengan orang yang bukan berasal dari suku Sunda itu. Ia ditanya bagaimana sosok ia sebagai pertempuan Sunda, seperti apakah ia matre, suka bersolek, pemalas dls. Jelasnya.

Walaupun demikian, masih menurut pengurus Persistri ini, Ia membuktikannya dengan cara terus mencari pengetahuan, karena dengan pendidikan baik agama ataupun pendidikan yang lainnya, sebab jika perempuan sudah memiliki pengetahuan yang banyak tentang sesuatu hal, maka perempuan tidak akan menalami keterpurukan. Ia juga memberikan criteria perempuan ideal Sunda, yang menurutnya perempuan yang seolah-olah yang dapat merubah stereotip perempuan sunda ini.Tegasnya.

Lebih lanjut, Ia mengutip tulisan Waluya dari internet, yang mengatakan bahwa posisi budaya Sunda menjadi terpasung ketika islam datang, sebab pada waktu itu lagi gencaar-gencarnya dan marak terjadi penyerapan budaya Arab. Sehingga terjadilah pengadopsi dan pengkreasian nilai-nilai dari budaya yang berbeda pula. Hal itu tidak terlepas dari sejarah penjajahan, yang menggolongkan perempuan dalam 4 golongan, yakni golongan colonial; golongna pedangang cina; golongna menak; dan golongan rakyat biasa. Kemudiaan dari golongna yang ke empat inilah, yang kelaak pada akhirnya akan menjadi korban penindasan, karena ia menjadi cetral penindasan. Tutur perempuan yang sebentar lagi akan menyelesaikan doisertasinya di UNPAD

Sementara itu, menurut Hawe Setiawan, yang lebih condong memandang perempuan Sunda dari kaca mata budaya ini, menekankan paling tidak ada dua hal yang menyebabkan munculnya citra negative perempuan sunda dalam media masa. Pertama, stereotype, yaitu kesan umum yang bersifat negative, seperti yang pernah ramai baru-baru ini tentang tuduhan majalah ME yang disebarluaskan di internet, yang tidak didasarkan dengan penelitian yang akurat, selanjutnya dalam sinetron bajaj bajuri, tokoh mpok minah dalam cerita itu di stereotypekan bahwa perempuan sunda itu pemalu, karena ia selalu memulai pembicaraan dengna kata “maaf”, dan masih banayk lagi contoh lain yang menggambarkan sosok perempuan sunda. Ungkap Redaktur Budaya PR itu.

Kedua, ideal tipe yaitu citra ideal perempuan Sunda. Dalam artian, ideal tipe ini tiak ada kejelasan tentang standarisasi perempuan sunda yang ideal tersebut. Tuturnya

Dari dua permaslahan di atas, dapat ditanggulanggi dengan cara menaydarkan pada para perempuan baik dari suku Sunda ataupun yang lainnya untuk bangkit dan lebih kritis, serta sadar diri akan keber-ada-annya dalam menghadapi kehidupan ini, demi kemajuan perempuan pada arah yang lebih progresif. seperti terungakap dalam pepatah Sunda “ moal ngarih lamun teu ngarah, Ngindung ka waktu ngabapa ka zaman” (maksudnya Allah tidak akan merubah kaum jika ia tidak merubahnya sendiri, perubahan itu tidak akan terjadi, bila terlepas dari keterkaitan sejarah). Tegasnya.

Sedangkan menurut Suhur bahwa kebudayaan dari suatu daerah tidak akan sama nilainya dengan kebudayaan di daerah lainnya, bigitupun juga jika dikaitkan dengan masalah perempuannya. Nah, inilah suatu kesalahan para penggerak feminis yang cenderung menyamaratakan problem perempuan dan laki-laki dalam setiap kebudayaan. Seperti dalam budaya di lombok NTB tentang komunitas janda lombok yang nikah cerai sebanyak 3-4 kali memilki status sosial yang tinggi, disebanding perempuan yang lain. Lantas, apakah sama dengan budaya sunda yang cenderung menyalahkan poliandri ini?. Tegasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa, keterpuruka perempuan dalam media masa itu, diakibatkan berkembangnya budaya kapitalisme yang sangat pesat sekaligus mengeksploitasi kaum perempuan. Namun, tetap itu dikembalikan pada keenjoyan perempuan dalam budayanya tersebut. Tuturnya

Berkenaan dengan digelarnya Seminar kebudayaan ini, tentunya dimaksudkan sebagai wahana penyadaran terhadap perempuan sunda khususnya dan perempuan suku lain pada umumnya dalam menunjukan eksistensi dirinya dalam segala ranah kehidupan, serta selalu waspada akan ideology patriarki yang terus mengakar, bahkan mendarah-daging pemahaman itu dalam setiap kebudayaan, khususnya budaya di Indonesia, Ungkap Tatan Tarmaya selaku ketua L-KaP GPMI ini, dalam sambutannya.

Terlepas darti kontrofersi citra positif dan negative terhadap perempuan sunda ini, selayaknya hal itu jangan sampai dijadikan legitimasi terhadap perempuan dalam menampakan jati dirinya. Apologi apalagi. Dengan demikian, semestinya tidak ada lagi dalih untuk mengkungkung peran perempuan dalam kebudayaanya.

Thus, melalui seminar kebudayaan ini, orang bias mengenal bagaimanan perempaun dalam perespektif budaya Sunda, sebagai wujud penghargaan putra dan putri daerah dalam memajukan kebudayaannnya di mata nasional dan internasional. Semoga []

*Partisipan WSC, kini tinggal di Banten.

posted by wscbandung @ 21.46, ,


Jumat, 30 November 2007

Hari Kartini; Saatnya Perempuan Angkat Pena

Oleh Ibn Ghifarie*


APA YANG ANDA LAKUKAN MANAKALA HARI KARTINI ITU TIBA? Aksikah, demokah, turun kejalan sambail meneriakan yel-yel ataukah diam seribu bahasa. Bila pertanyan itu di alamatkan padaku, maka aku tidak akan menjawabnya. Tapi akan bercerita perempuan. Pasalnya momen ini merupakan hari bersejarah bagi kaum hawa. Mereka berusah ingin hidup lebih baik dalam bingkai kesetaran dan keadilan. Meskipun dalam mewujudkan cita-cita itu tidaklah semudah membalikan telapak tangan, tapi memrlukan keuletan, ketabahan dan kesabaran.

Tengok saja, tindakan kriminalitas tentang kekerasan semakin marak di negeri beradab ini. Seperti pelecehan dirumah tangga, baik kekerasan anak terhadap orang tuanya, maupun sebaliknya. Bahkan yang lebih ironis lagi perbuatan keji itu di lakuakan oleh ibu terhadap anaknya.

Kedengaranya aneh memang, seorang ummi yang notabene mempunyai hasrat naluri keibuan--lemah lembut, gemulai, sopan dan penyayang, tega-teganya melakukan tindakan kekerasan fisik ataupun fisikis terhadap buah hatinya.

Ambil contoh, Januari yang lalu di daerah Gunung Kidul Jogjakarta di kejutkan oleh seorang Ibu bernama Ruhiem dan ketiga anaknya melakukan pembunuhan dengan cara mencapur racun tikus pada nasinya.. Usut punya usut ternya mereka sudah beberapa hari tidak makan. Menemukan lauk pauk apalagi. Tiba-tiba perempun setenga baya itu hilap dan pada akhirnya melakukan bunuh diri masal. Walaupun, keluarga tersebut tidak mati, karena dapat di tolong oleh tetangganya (Pikiran Rakyat, 31/01).

Peristiwa serupa pun terajdi di Cirebon dan Tanggerang. Pembakaran anak oleh Ibunya sendiri. Pasalnya perempuan kepala tiga itu, tidak tahan lagi dengan kebiasaan suaminya selalu mabuk-mabukan dan tak jarang memberikan nafkah hampir satu tahun. Sekoyong-koyong, entah kerasukan setan apa wanita itu, nekad melakukan perbuat ngeri tersebut (Radar, 19/01).

Ironisnya, di tengah-tengah arus informasi mudah di dapat dan menjamurnya gerakan feminis. Perbuatan senada pun terjadi, bahkan lebih perih lagi. Seperti yang di alami oleh Siti Nur Azilah di Surabya belakangan ini. Lisa, sapaan akrabnya mendapatkan perilaku tidak wajar dari suaminya. Ia di siram air raksa ke wajahnya. Sampai-sampai Lisa harus melakukan operasi face off di Rumah Sakit (RS) DR Soetomo Surabaya. Lagi-lagi kemiskinan lebih akrab dengan perempuan akibat marzinalisasi.

Dominasi Tafsir Patriarkhi.
Menilik persoalan tersebut, membuat kita mengerutkan kepala bila mencari jawaban. Apa yang melatar belakanginya modus tersebut? Tentu saja, perlakuan ganjil itu di akibatkan penafsiran ayat-ayat Tuhan yang kaku dan rigid. Seperti yang di utarakan oleh Rifat Hasan, bias tafsir itu terjadi mana kala; pertama, Penciptaan Hawa dari tulang rusuk adam. Kedua, Perempuan bertanggung jawab atas turunnya Adam dari surga. Ketiga, Tujuan di ciptakanya Mojang untuk Jajaka.

Selain itu, kuatnya pengaruh ulama dalam menafsirkan ayat-ayat yang berpihak pada laik-laki. Semisal, Arijalu Qowwamuna Ala annisa (Anissa:34); laki-laki menjadi pemimpin di antara perempuan. Bermula dari pemaknaan itu, pada akhirnya kaum Hawa di nilai sebagai pelengkap bagi kaum Adam semata. Di tambah lagi, posisi pemuka agama lebih tinggi dari kedudukan presiden. Pendek kata, ulama sebagai pewaris utama para nabi.

Mengapi kemalut yang akaut dan pelik itu, Fazlu Rahman mengartikan surat Anissa:34 itu mesti dimaknai berkisar pada fungsional, bukan pada perbedan hakiki. Artinya bila perempun memiliki kemampuan dan kemaun dalam mengemban amanah itu, maka berikanlah, tegasnya.

Senada dengan Rahman, Aminah Wadud mengomentari permasalahan tersebut. Bagi Wanita kontroversi itu, selama yang bersangkutan tidak bertentangan dengan al-qur’an sah-sah saja. Apalagi bila kita melihatnya secara fungsional, tutur pakar studi agama-agama itu.

Lebih lanjut, Guru Besar asal Maroko itu, menegaskan penafsiran itu tidak dimaksudkan superioritas hanya melekat pada kaum Adam secara otomatis, sebab itu terjadi secara fungsinal semata. Selama perempuan mempunyai kemampuan dan kualitas, berilah kesempatan, katanya.

Akibat dari pemahaman dan mendara daging di masyarakat. Kaum Nisa tidak boleh menjadi pemimpin dan hakim. Karena di anggap irasional, emosional dan tidak bisa menentukan keputusan. Hingga terdapat satu stereoty; kaum Adam membuat keputusan. Sementara kaum Hawa membuat kopi. Ujung ujungnya kaum Banat mesti berkutat pada ranah kasur, sumur dan dapur.

Tak berhenti sampai di sini saja, kaum Hawa pun tidak boleh mendapatkan pendidikan yang tinggi. Seperti yang dilansir oleh Jurnal Perempuan (JP No 23, 2003) terhitung dari tahun 1980-1990 angka perempuan masuk ke lembaga pendidikan lebih kecil bila dibandingkan dengan laki-laki. Di tingkat SMA; 41,45%:58,57% dan diperguruan tinggi 33,60%:66,40%. Padahal mengeyam bangku sekolah investasi jangka panjang bagi masa depan nasib mojang kelak. Menjadi pentolan di panggung politik apalagi. Proses subordinat acap kali menimpa kaum banat. Seolah-olah perempuan tidak boleh berdikarir di ruang publik, tapi domestik.

Maka Ambilah Pena.
Mencermati kemiskinan wanoja buah dari domestifikasi dan pembagian peran menurut jenis kelamin adalah pemandangan akrab bagi kita. Tidak ada cara lain selain bangkit dan angkat pena. Pasalnya, kuatnya ideologi patriarki dalam bingkai penafsiran. Mesti ada penafsiran berbasis feminis, yang ramah dan menyapa perbedaan. Coba tengok, adakah mufasir sekaligus pemikir perempuan? Kalaupun ada itu masih bisa dihitung dengan jari. untuk bangsa Indonesia masih kecil bila di bandingkan dengan laki-laki. Paling tidak terdapat sederetan tokoh; Musdah Mulya, Ratna Mega Wangi, Gadis Arivia, Zakiyyah Darajat, Hopipah Indah Pawangsa, Dee dan Ayu Utami dll. Apalagi pada tataran Kampus UIN SGD Bandung. Seberapa banyak organisasi perempuan? Seberapa banyak pergelaran lomba karya tulis di gelar? Berapa banyak penulis dari kalangan kaum hawa?
Dengan demikian, mengangkat pena menjadi penting, bahkan sangat erat kaitanya dengan peradaban. Sejumlah orang besar seperti Carlyle, Kant, Mina Bean, Hanna, Aminah Wadud, Rifat Hasan sangat percya dan meyakini penemuan tulisan benar-benar telah membentuk pearadaban.

Sangatlah wajar bila Fatima Mernisi dengan lantang menyuarakan kaum Nisa untuk menulis. Karena penafsir jumplang harus di lawan dengan penafsir lagi. Bahkan bagi penulis Teras Terlarang itu, goresan pena merupakan obat mujarab awet muda. Apalagi kebiasaan itu di lakukan setiap hari. Terutama setelah Sholat Subuh, tuturnya Lantas mesti mulai dari mana?

Tulislah apa yang di lihat, di alami, di raskan dan di pikirkan dalam bentuk coretan. Seperti yang di ungkapkan oleh JK Rowling “mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasasmu sendiri. Itulah yang saya rasakan,” ungkap penulis Hery Pother itu.

Tentu saja, hampir semua orang agaknya pernah melakukan curat-coret. Entah menarikan pena di atas tumpukan; pesan, memo, dan buku harian. Jadi ada pelbagai ragam cara menuangka ide atau gagasan. Jika kita mesih kesulitan memulai membikin apa tulisan yang bersifat luas dan dalam, maka kita bisa memulai latihan dengan cara membuat coretan yang ringan dan sederhana. Misalnya dimulai dengan membikin surat pembca dan diary. Semisal yang pernah dilakukan oleh Soe Ho Gie lewat Catatan Seorang Demonstran dan Ahmad Wahib melalui Catatan Harian (Pergolakan Pemikir Islam).
Pendek kata, mengangkat pena menjadi satu keharusan bagi kaum pelajar. Sebab tanpa itu semua harkat martabat kita akan dianggap rendah, bahkan lebih buruk dari binatang.

Untuk itu, sangatlah wajar apabila dalam dunia Antropolog (Belb, 1926;221-22) dan (Taringan, 1983;11) dikenal satu pameo; sebagaimana bahasa membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab (as languange distinguish hes man from animal, so wraiting dis tinguister civilizen ma from barbarian). Thus, lengkingan pena hanya terdapat dalam peradaban.
Dalam ungkapan lain, buku adalah pengusung peradaban, tanpa buku sejarah menajdi sunyi, sastr bisu, ilmu pengetahuan lumpuh serta pikiran dan spekulasi mandek, begitulah Barbara Tuchmat berujar.

Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun, “tulislah” ungkap Pramoedya Ananta Toer “Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penarbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna,” tutur Pria mantan Lekra itu.

Dengan demikian, mudah-mudahan dengan di peringatinya Hari Kartini ini, kita dapat melanjutkan perjuangannya. Sampai-sampai RA Kartini menggoreskan pena kepada karibnya “bila perempuan bisa membeli kebebasannya, merak harus membayar mahal sangat mahal. Mereka akan menghadapi kenestapaan.”; “Pergilah., bekerjalah untuk mewujudkan cita-citamu”; Suatu hari perempuan asal Jepara itu, menulis surat buat Ny RM Abendono-Mandiri (12 Oktober 1902) “orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tapi jangan pena saya! Ini tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin mengunakan senjat itu. Janganlah kami terlalu di usik, sebab kesabaran yang sesabar-sabarnya. Akhirnya juga akan habis juga. Oleh karena itu, kami akan menggunakan senjata itu. Walaupun kami sendiri akan terluka kerenanya. Aduhai! Tuhan, berilah kami kekuatan, kekuatan dan bantulah kami! Mafkan saya, cintalah anak-anakmu yang berkulit coklat ini.” Sudah siapkah kaum Banat merdeka? Pojok Sekre Kering.[Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere, 15/04;23.21 wib

http://www.ghifarie.web.id

ibn_ghifarie@yahoo.com

posted by wscbandung @ 15.47, ,


Poligami: Politik Gairah Suami

Badru Tamam Mifka

TAHUN 2006 yang lalu, kita kembali dikejutkan dengan jebolnya “tanggul” perdebatan yang lebih massif tentang poligami. Gegap-gempita perdebatan yang melelahkan itu hadir ketika seorang dai kondang mempraktikkan jenis pernikahan tersebut. Tak ayal, bak kisruh soal smackdown, poligami pun jadi pembicaraan hangat yang dikonsumsi banyak media dan kalangan masyarakat luas dari mulai anak-anak, ABG sampai orang tua. Tentu saja, tanggapan masyarakat terhadap tokoh publik itu jadi ragam, ada banyak umat yang sepakat, tak kalah banyak juga umat yang melaknat. Bagi yang melaknat—kebanyakan aktivis perempuan—praktik poligami yang selama ini diminati banyak laki-laki berpotensi besar melukai dan melecehkan kaum perempuan. Lebih tegas mereka menganggap bahwa poligami akhirnya merupakan salah-satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Mengutip Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan pasal 11, menyebutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat—atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan baik secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan-perbuatan tertentu, dan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.

Mengacu pada definisi diatas, Jurnal Perempuan [No. 31/2003] memasukkan poligami sebagai kekerasan terhadap perempuan berdasarkan salah satu data LBH APIK Jakarta (tahun 2003) yang mengungkapkan bahwa poligami telah melahirkan dampak tertentu bagi isteri. Dampak yang paling dialami adalah isteri tidak lagi diberi nafkah (37 orang), isteri diterlantarkan atau ditinggalkan (23 orang), isteri mengalami tekanan psikis (21 orang), isteri dianiaya secara fisik (7 orang), pisah ranjang (11), mendapat teror isteri kedua (2 orang) dan diceraikan (6 orang). Data tersebut diambil dari isteri yang melapor, belum lagi isteri yang takut melapor atau isteri yang [di]manut[kan] menerima perlakuan diskriminatif dari suami dalam institusi poligami; bahkan ia tak berani untuk sekedar speak out atau menyuarakan derita yang terjadi. Disisi lain, kita tahu, tak sedikit dari kaum laki-laki masih gemar poligami dengan perasaan tak risau, dari mulai rakyat biasa, dosen, pengusaha sampai ulama.

Dari Kuasa ke Internalized Oppression

Kenapa seseorang mesti poligami? Pertanyaan itu harus diajukan pada semua lelaki yang mulai punya niat berpoligami. Sebenarnya selama ini permasalahan poligami hanya dipahami dari sudut kepentingan lelaki belaka. Meski pada kenyataannya, para pelaku poligami bersikukuh membela poligami dan mencari pelbagai legitimasi dari aneka sumber. Tentu saja, masih meruyaknya legitimasi dalam fenomena poligami mengakibatkan kian kokohnya praktik itu terjadi masyarakat. Lewat legitimasi—baik legitimasi kultural, sosial, ekonomi, atau agama—kepentingan politik gairah suami mendapat pembenaran dan akhirnya meresap lebih lebar dalam sulbi kesadaran perempuan. Sampai sini dapat dipahami bahwa poligami merupakan bentuk konstruksi kuasa laki-laki yang mendaku superior dengan nafsu menguasai perempuan; disisi lain, lagi-lagi faktor biologis atau seksual juga mendominasi bahkan demi prestise tertentu. Dalam hal itu, gairah lelaki (suami) punya peluang membangun siasat untuk memenuhi keinginan dan kepentingannya. Jikapun penolakan isteri muncul, ia mesti berhadapan dulu dengan “konsep kepatuhan isteri kepada suami” (disobidience to the husband) yang mesti dijalani oleh isteri tanpa ruang lebar untuk kritis; melenceng dari itu—dalam beberapa kasus—tak segan vonis “durhaka” (bahkan kekerasan fisik) mesti ditelan perempuan karena dianggap tidak patuh terhadap suami dan tidak teguh iman menerima “rahmat” poligami. Selain itu, rayuan “jaminan syurga”, “sunah Rasul” acap dibalutkan pada pola pikir perempuan. Akibatnya, perempuan tak mampu mendefinisikan dirinya. Logika dominasipun muncul, jika suami bahagia berpoligami, isteri harus patuh dan ikut bahagia. Tak heran jika banyak perempuan menerima poligami bahkan bersedia membelanya sekedar ingin kepuasan mendapat citra “perempuan solehah”—versi laki-laki—yang patuh pada suami, hukum dan tafsir sepihak dalam agama .

Disinilah tirani politik birahi laki-laki bermain dan akhirnya menjadi ekspresi anggun sebuah kekuasaan atas perempuan. Segala cara mereka lakukan untuk melestarikan poligami dari mulai merumuskan hukum yang seksis, merekayasa kesadaran perempuan, mengkonsumsi tafsir misoginis sampai politisasi ayat-ayat kitab suci. Pribadi dan seksualitas perempuan dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan laki-laki dan dikontrol lewat jejaring indoktrinasi. Dampaknya, perempuan dengan begitu saja menerima setiap ready made values, setiap nilai dan tafsir yang telah dikonstruksikan oleh selera hasrat-hasrat hegemonikal laki-laki sepanjang sejarah. Mengenai hal itu, ada catatan menarik dari LBH-APIK tentang korban poligami, bahwa adanya fakta bahwa sejumlah perempuan yang menerima poligami tidak menghilangkan hakekat diskriminasi seksual dalam institusi poligami tersebut dan penerimaan mereka terhadap poligami adalah bentuk “internalized oppression”. Artinya, sepanjang hidupnya korban poligami telah disosialisasikan pada sistem nilai yang diskriminatif dan menekan bawah sadarnya (unconsciesness). Ada legitimasi dan doktrinasi basi, rantai nilai-nilai dan hukum “meusum” yang selama ini dirumuskan untuk membungkam kesadaran perempuan, hingga korban poligami kebanyakan tak menyadari pelecehan yang menimpa dan menempanya.

Dicari, lelaki yang bisa adil!

Is poligamy allowed in the Qur`an? Is it legal?

Soal legitimasi, sudut agama memang yang lebih marak dipakai pelaku untuk mengabsahkan praktik poligami. Bagi kaum muslim, anda jangan sumringah dulu menemukan sepotong ayat al-Qur`an yang seolah-olah membolehkan poligami. Soal munculnya wacana poligami dalam kitab suci memang wajar. Faktanya, perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan. Konon, Al-Qur`an merekam praktik itu sebab ia adalah jawaban terhadap realitas sosial masyarakat saat itu. Thaha Husein (1889-1950) dalam Fi Syi’r al-Jahili (tt. h. 25-33) misalnya, dengan berani mengambil hipotesa bahwa al-Quran pada dasarnya adalah cermin budaya masyarakat Arab Jahiliyah (pra-Islam). Karena itu, seruan poligami dalam teks itu harus dipandang sebagai sebuah proses yang belum final dan masih terbuka bagi “pembacaan lain” sesuai dengan konteks sosial kontemporer. Jika hipotesa Husein dikembangkan, akan dijumpai pemahaman bahwa al-Quran sesungguhnya adalah respon terhadap berbagai persoalan umat kala itu. Sebagai respon, tentu saja al-Quran menyesuaikan dengan keadaan setempat yang saat itu dipenuhi dominasi budaya patriarki (ideologi laki-laki). Pelarangan poligami yang absolut untuk konteks masayarakat kala itu amat tidak mudah. Oleh karena itu al-Qur`an mengambil cara—meminjam istilah Asghar Engineer—ideologis pragmatis. Kini keadaannya sudah berbeda; baju ketat penafsiran terhadap ayat dalam konteks tempo dulu sudah tak layak pakai untuk pertumbuhan konteks kekinian.

Muhammad Abduh (1849-1905) turut menambahkan, poligami telah dipraktikkan secara luas oleh kaum Mukmin generasi terdahulu (as-Salaf ash-shâlih), tetapi kemudian berkembang menjadi praktik penyimpangan hawa nafsu yang tak terkendali, tanpa rasa keadilan dan kesamaan sehingga tidak lagi kondusif bagi kesejahteraan masyarakat. Lantas, masih menurut Abduh, alasan dibolehkannya poligami di masa awal generasi Islam saat itu karena jumlah laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan akibat banyak yang mati di medan pertempuran. Dengan dalih melindungi dan mengayomi, laki-laki dibolehkan menikahi perempuan lebih dari satu. Juga dengan begitu penyebaran Islam semakin cepat dengan terus menambah jumlah pemeluknya. Sebab perempuan yang dinikahi diharapkan masuk Islam beserta keluarganya. Selain itu, dengan poligami kemungkinan pecahnya konflik antar-suku dapat dicegah. Saat ini, keadaan sudah jelas banyak berubah; justru poligami melahirkan banyak persoalan yang mengancam keutuhan bangunan mahligai rumah tangga. Sering timbul percekcokan. Belum lagi efek domino bagi perkembangan psikologi anak yang lahir dari pernikahan poligami yang seringkali tak disadari. Sering mereka merasa kurang diperhatikan, haus kasih sayang dan, celakanya, secara tidak langsung dididik dalam suasana yang kedap perselisihan dan percekcokan tersebut. Karena itulah Abduh jelas-jelas melarang praktik poligami mengingat syarat adil yang diminta teks tidak mungkin bisa dipenuhi. (Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar IV, tt. h. 347-350)—seluruh pendapat itu jelas kontras dengan kalangan skripturalis yang menganggap poligami sebagai ajaran Islam yang abash sepanjang masa.

Terkait dengan pendapat Abduh diatas, tentu saja, disini asas keadilan yang dibebankan pada pernikahan poligami bukan sekadar keadilan kuantitatif semacam pemenuhan materi (nafkah lahir) atau waktu gilir antar-istri. Tetapi ada hal yang sangat penting, yaitu mencakup keadilan kualitatif yang hakiki (kasih sayang dan cinta yang merupakan fondasi dan filosofi utama kehidupan rumah tangga). Hal itu sesuai dengan kandungan dalam term yang diajukan al-Qur`an, yaitu `adâlah, yang bermakna lebih kualitatif, bukan qisthun—nah, inilah yang sangat-sangat susah. Bagi sejumlah pemikir muslim, lagi-lagi keadilan yang amat ketat itu tidak mungkin bisa terpenuhi oleh seorang laki-laki. Sebab itu, mengapa di ujung ayat yang sering dijadikan dasar bagi kebolehan (mubahah) praktik poligami, Allah mewanti-wanti, “Dan apabila kamu takut tidak bisa berbuat adil, maka nikahilah seorang saja" [QS 4 :3]. Itu berarti ideal moral yang dicanangkan al-Quran adalah praktik monogami. Pertanyaannya, siapa lelaki angkuh di dunia ini yang merasa sudah mampu adil hingga amat berminat poligami? “Dan sekali-kali kamu tidak akan dapat adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…” [An-nisa:129]

Dalam kasus poligami Rasulullah, rasa adil itupun tak begitu utuh. Konon, Aisyah sempat cemburu karena dalam hampir curhatnya Nabi selalu menyebut Khadijah. Aiyah juga pernah bertengkar dengan Hapsah karena Rasul lebih menyayangi Aisyah. Tak kalah penting, seperti diungkap Hilaly Basya, ketua Departemen Kajian Islam Youth Islamic Study Club Al-Azhar, bahwa ayat Annisa 129 belum turun ketika Nabi mulai poligami. Muncullah dilema kalau Nabi akhirnya menceraikan isteri-isterinya. Pasalnya, isteri-isteri beliau berasal dari suku-suku yang berbeda. Jadi ada pertimbangan politik: kalau dicerai semuanya akan memecah belah suku yang sudah bersatu tersebut. Pun selain Aisyah—setelah wafatnya Khadijah—perkawinannya dengan Hafsah binti Umar, Umm Habibah binti Abu Sufyan, Juwairiyah dari Bani Musthaliq dan lain-lain, utamanya merupakan perkawinan politis, meskipun motif kasih sayang tetap melekat dalam perkawinan itu (Bint Asy-Syathi, Tarajim). Lebih lanjut Hilaly Basya menyambung pendapatnya diatas, bahwa sebenarnya Nabi punya semangat poligami yang berbeda dengan poligami sekarang. Perempuan yang dinikahi adalah janda punya anak atau yatim. Pada waktu itu, janda dalam masyarakat Arab tidak punya akses apapun ke masyarakat, berbeda dengan janda sekarang. Kini poligami sudah tak sejalan dengan moral al-Qur`an. Kini poligami lebih berdampak kemadharatan ketimbang kemaslahatan. Bukankah Tuhan tidak menyukai hambanya yang senang berlebihan? Sebab poligami kini tak lebih dari tirani birahi laki-laki yang mengeksploitsi perempuan atas nama Tuhan—alih-alih billahi, justeru birahi yang berkedok tafsir agama. Poligami kini hanya mimikri-miniatur penuh carut-marut dari semangat poligami kaum musyrik Arab pra Islam, dengan kecenderungan hura-hura libido yang wajib dapat ganjaran perlawanan.

Sekedar Penutup: Menyelami Monogami

Sejauh ini perjuangan menentang poligami selalu saja mendapat kendala yang sepele. Tentu saja, bukan hanya karena sistem dan nilai-nilai patriarkal yang menguasai mindset laki-laki, tetapi juga karena sistem dan nilai yang sama juga menguasai mindset perempuan, sehingga hilangnya keberpihakan kaum perempuan pada kaum mereka sendiri. Mereka tak sadar, bahwa dalam poligami banyak terjadi pengabaian hak-hak kemanusiaan yang banyak dirasakan korban poligami, tetapi dari yang banyak itu, kasus-kasus kekerasan dalam poligami masih saja tenggelam seperti dasar terbawah fenomena gunung es. Memang ada sebagian pelaku yang dapat memeberikan pengalaman yang nyaman tentang praktik poligaminya, tetapi itupun memakai standar dirinya sebagai pelaku poligami. Meskipun begitu, perjuangan menolak setiap perbuatan yang dapat melecehkan perempuan harus terus digulirkan. Kita ingat semangat cucu-cicit Husein anak Ali yang melakukan gerakan anti poligami dinegaranya. Tak kalah juga Aisyah bin Thoha, keponakan Aisyah isteri Rasul yang begitu lantang menentang poligami. Zaman sudah berubah, perempuan zaman sekarang sudah cerdas memahami keadilan dan kritis pada kondisi ketimpangan. Perempuan hari ini mesti melakukan “ex-sentralisme”, yaitu keluar dari grand narrative patriarki yang meletakkan laki-laki sebagai pusat kuasa dalam segala hal.

Kinilah saatnya kita tak lelah membebaskan perempuan dari supremasi dan eksploitasi kaum laki-laki, menolak mengubur hidup-hidup” perempuan dan mulai bertanggung jawab untuk segera menghentikan pusaran penindasan (circle of opressions) yang tak henti melanda kaum perempuan akibat kedzaliman politik gairah suami yang berdalih agama. Perempuan mesti keluar dari kungkungan tafsir yang melulu memanjakan kepentingan laki-laki. Kita mesti mencitra ulang perempuan dalam ajaran dan tafsiran teks kitab suci. Ayat-ayat al-Quran bukan barisan kalimat dalam poster iklan yang dapat diraih sekali baca. Al-Qu`ran tak miskin makna dan ia butuh pemaknaan mendalam yang lebih manusiawi.

Walhasil, orang bijak Habib Bu Ruqayba pernah mengungkapkan: “Keluarga adalah tonggak masyarakat, dan keluarga dapat berhasil dengan baik hanya dengan dasar saling menghormati dan menghargai antar pasangan. Salah satu bentuk untuk saling menghormati dan menghargai adalah dengan melaksanakan pernikahan monogami.” Tentu saja, menuju monogami bukan hanya pelayaran harapan ingin mengangkat derajat dan martabat perempuan, tetapi lebih dari itu, adalah untuk menyelami hubungan monogami yang dapat menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati antara pasangan sebagai usaha maksimal untuk melahirkan anak-anak yang baik. Wallahu `alam bissawab []


posted by wscbandung @ 14.02, ,


Kamis, 29 November 2007

Delapan Maret

1]

Saya disodorkan 8 Maret. Saya benar-benar masygul ketika tahu bahwa tanggal yang saya lingkari di kalender sebagai angka janji bertemu dengan seseorang ini ternyata dirayakan sebagai hari besar bagi perempuan di seluruh dunia. Ada yang menghentak ingatan saya, tetapi tak terlalu keras; sebab saya pikir, saya kurang optimis pada kebanyakan orang disini yang dapat mafhum tentang 8 Maret. Ia memang seperti angka 17 di bulan Agustus bagi Indonesia; 22 Desember bagi ibuku atau mungkin 27 Juni bagi calon isterimu. Ia hanya angka yang barangkali dapat dimaknai berbeda oleh seseorang yang diputuskan hubungan oleh seorang pacar ditanggal 8 Maret, misalnya.

Delapan Maret. Ia memang seperti angka 17 Ramadhan yang acapkali dilingkari dalam barisan angka kalender, diperingati dengan banyak ongkos dan beberapa hari kemudian dengan mudah dapat dilupakan. Urusan dapat beres. Tetapi ternyata tak hanya itu. Sebuah angka dapat bicara lebih banyak ketimbang sejarawan dan komentator sepakbola. Ia yang bertanya: zaman macam apa yang amat gigih membeli pelbagai ritual dan repetisi tindakan massif dengan harga yang lebih mahal ketimbang meraih kesadaran dan perubahan sesegera?

Seseorang berulang tahun, misalnya, dan ia merayakan umurnya yang bertambah dengan banyak kegembiraan. Tentu saja, semestinya bukan kegembiraan bertambahnya angka-angka laiknya gol sepakbola bagi klub pemenang, tetapi berapa orang dari sekian juta penduduk yang lebih takzim pada tanggung jawab esensial dibanding tanggung jawab mentraktir teman dalam pesta, gempita hari raya dan momen-momen peringatan yang dibiarkan melintas agak dekat dengan jalur ingatan kita?

Saya membolak-balik 8 Maret. Angka yang tidak berubah untuk diperingati ketika umur saya 20 tahun, dan kini bertambah. Lalu apa yang berubah? Tanggal yang diperingati beratus-ratus kali, spanduk yang dipasang bermeter-meter panjangnya dan agenda kerja bertumpuk berkilometer tingginya tak jua menghentikan persoalan eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan yang terkandung dalam 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional [HPI] itu? Saya percaya, 8 Maret punya makna yang tak final. Ia, angka itu, selalu hidup untuk diisi dan dikerjakan, sebab ia mengandung banyak tanda Tanya dan semacam tugas bersama.

Namun, sepertinya hitungan yang lebih tua sebagai hari khusus yang diperingati untuk kesekian kalinya kian tak menarik. Laiknya 17 Agustus yang acapkali ditanggapi seperti kilasan kesan episode sinetron picisan yang banyak dibicarakan tapi tak realistis, 8 Maret juga tak kunjung dipahami sebagai “peringatan” atas penyakit lupa kita akan kenyataan sejarah, bahwa perempuan hari ini punya persoalan serius dengan [his]tory. Namun—setidaknya, jujur saja—disekitar kita, tanggal tersebut tak kunjung jadi semangat, kesadaran dan pemaknaan yang bergerak mengguratkan jejak yang bagus.

Kita lupa, setiap tanggal yang ditetapkan dan dilingkari untuk merangkum sebuah fragmen penting dalam sejarah selalu dibentuk oleh kesungguhan yang berkeringat, capek, luka, perdebatan, keras kepala dan beberapa garis darah—seperti 17 Agustus.

[2]

Saya menyodorkan 8 Maret. Seorang kawan membantah tak lama setelah saya bicara banyak tentang gagasan Partai Sosialis AS, Hari Perempuan Amerika, demonstrasi besar untuk persamaan hak politik kaum perempuan bulan Februari 1908, Deklarasi Copenhagen, feminisme, kaum buruh dan sebagainya. Ada xenophobia. Ia juga mendesak saya memutuskan benang merah pengaruh 8 Maret bagi seorang Kartini. Ia mengkel, bahwa International Women Suffrage Alliance yang terbentuk tahun 1904 sebagai cikal bakal “kurang ajarnya” perempuan terhadap sejarah laki-laki; cikal-bakalnya isme barat yang menyeret kodrat perempuan dalam gilas kesesatan. Hm, saya tak mau panjang lebar bicara hegemony historical.

Saya telah bicara cukup tentang tetek-bengek buruh yang dihisap, surplus value, sedikit marxisme, penindasan dan perubahan sosial. Saya bilang bahwa ketertindasan dalam bentuk apapun disetiap negara adalah sama; bahwa si “Barat” Clara Zetkin dapat benar dan pawai demonstrasi pertama 8 Maret jelang revolusi Rusia dan Perang Dunia I, dapat dihormati jika pikiran kita terbuka untuk esensi; bahwa setiap manusia—dalam kondisi ketertindasan apapun—punya naluri perubahan dan kemanusiaan yang sama. Lagi, tak ada bedanya 8 Maret dengan 17 Agustus atau Iedul Fitri. Semuanya punya kesamaan titik makna yang dapat kita temukan setelah kita menemui banyak hal dari problem kemanusiaan, dimanapun, terlepas di Barat, Timur, di Negro dan sebagainya. Cocok tidak cocok, 8 Maret atau isme atau apapun namanya, jangan terlalu disamakan dengan pakaian, bra dan celana dalam yang lebih banyak berkutat dalam persoalan “selera”. Ini bukan soal selera ideologi dan semacamnya, ini tentang kesamaan kondisi kemanusiaan dan tanggung jawab atasnya.

Mengenai munculnya gagasan 8 Maret di “Barat” memang tak perlu dipersoalkan. Toh kita tahu, di Inggris, HPI menjadi peringatan tahunan sesudah perang Dunia II. Di Amerika, peringatan HPI menjadi peringatan tahunan sejak munculnya Gerakan Pembebasan Perempuan yang lahir bersamaan dengan gerakan hak-hak sipil dan gerakan perdamaian antiperang tahun 1960-an, yang terus berkembang dan meluas, bahkan sampai ke Indonesia. Akhirnya, PBB menetapkan tahun 1975 sebagai Tahun Internasional Perempuan, dan tahun 1976-1985 ditetapkan sebagai Dasawarsa Perempuan. Tahun 1978, PBB menetapkan 8 Maret dalam daftar hari libur resmi. Segalanya berjalan begitu saja, seperti keharusan.

Akhirnya, 8 Maret ditetapkan sebagai hari “peringatan-tahunan” bagi tiap negara untuk memperhatikan nasib perempuan. Angka itu menjadi “kunci kemerdekaan” bagi perempuan untuk berharap lebih baik atas harkat dan martabatnya dikemudian hari. Seluruh perempuan memperingati hari ini dengan penuh makna dan harapan akan posisi kehidupan perempuan ke arah yang lebih bermartabat. 8 Maret juga dirayakan untuk memperkuat temali solidaritas sesama perempuan dalam ikhtiar menegakkan penhormatan terhadap hak-hak bagi perempuan untuk bergerak lebih jauh di pelbagai bidang sosial, politik dan ekonomi.

[3]

Seorang-kawan menyodorkan segelas kopi setengah dingin dan saya menyodorkan kaki siap dipijat, lalu saya bicara:

“Di Indonesia, harapan semacam tadi muncul di kepala RA Kartini. Kesadaran atas ketertindasan kaum perempuan dan sifat struktural penindasan itu sudah lama muncul di Indonesia. Kartini, seorang puteri bupati Jawa yang melalui tulisannya menentang keras poligami, kawin paksa, dan penindasan feodal serta kolonial. Ia berusaha menegakkan hak kaum perempuan untuk bersekolah dengan mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan.”

Kawan saya mengisap rokok, ia batuk-batuk. Dan saya diam-diam kentut. Lalu saya melanjutkan.

“Di negeri-negeri lain [termasuk negeri-negeri kapitalis industri maju], kaum perempuan mengalami pelbagai bentuk penindasan baik yang bersifat kelas, maupun seksual seperti pemerkosaan, perdagangan perempuan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, tanpa perlindungan hukum yang memadai. Kekerasan terhadap perempuan terus terjadi di banyak masyarakat, atas nama tradisi, agama, kebudayaan bahkan inisiatif yang selalu tak punya landasan epistemology. Dan, kita tahu, semua manusia diciptakan sama dengan harga diri, merupakan prinsip paling mendasar dari hak asasi manusia. Ketidakadilan yang paling sering dialami oleh kaum perempuan adalah eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan…”

“Eit, tunggu bentar. Bisakah dikau jelaskan apa itu eksploitasi?”

“Eksploitasi berarti bekerja diluar batas dan pikiran, dan menerima tidak sesuai dengan kebutuhan hidup layak.”

“Diskriminasi?”

“Berarti setiap upaya pembedaan yang terjadi secara paksa, semena-mena, diluar kehendak dan merugikan.”

“Kalau kekerasan?”

“Adalah segala bentuk teror, tekanan dan intimidasi yang dialami.”

[4]

Tak berubah, memang, untuk konsisten pada perubahan. Artinya, harapan yang sama akan tetap terdengar seperti angka 8 setiap bulan Maret. Ada yang belum selesai. Dan saat ini, yang diharapkan perempuan adalah pengakuan akan kesetaraan baik dalam peran maupun kedudukan dalam masyarakat. Tak luput, dengan perlindungan hukum yang kuat. Bagaimanapun juga perempuan ingin dihargai sesuai dengan kemampuannya. Tentu saja, ini harus diikuti oleh kemauan perempuan meningkatkan kualitas dirinya jika ingin mendapatkan keadilan dan kesetaraan gender. Yoi, jangan hanya menuntut ini-itu, namun harus bisa meningkatkan kualitas diri. 8 Maret. Hari Perempuan Internasional, International Women`s Day, adalah satu moment yang tepat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan bagi kaum pria untuk mendukung perjuangan perempuan. Masih banyak yang harus diperjuangkan oleh kaum perempuan untuk mendapatkan keadilan dan kesetaraan gender, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, politik, hokum dan bidang lainnya.

Walhasil, 8 Maret bukan angka mati. Ia tak mesti sesegera diingat dan dengan cepat pula dilupakan. Ia adalah angka yang akan tetap mengetuk ingatan kita sepanjang tahun, bahwa persoalan nasib perempuan belum usai; bahwa setiap manusia punya harapan untuk mendapatkan haknya. Bahwa kita punya tanggung jawab untuk memberikan ruang kemerdekaan pada yang lainnya, terutama perempuan. Jika kita masih merasa manusia, kita akan peduli pada nasib perempuan. Mudah-mudahan kita masih dapat bertemu angka 8 dibulan Maret tahun depan dengan keadaan yang lebih baik! Semoga.

Selamat Hari Perempuan Internasional.

Label:

posted by wscbandung @ 02.08, ,


Senin, 26 November 2007

Tragedi, Feminisme dan Spirit Pembebasan

Abad feminisme lahir.
Ia hadir menjadi sebuah interupsi terhadap pongahnya ideologi phallus dan
banalitas sistem patriarkal sebagai anak haram peradaban. Gerakan kaum perempuan telah menggeliat
dalam gairah sang penggugat sekaligus “kaum murtad” terhadap
ritualitas candu masokism dan otoritarianisme relasi gender yang seksis.
Thus, feminisme mencibir artikulasi “hukuman” stigma sub-human, dehumanisasi, dan karatnya
tafsir “romantik” paling nyeri: spesies hawa adalah pewaris dosa dan dianggap layak menerima
adagium sinis sebuah alegori tulang rusuk yang patah—sekerat “lelaki” yang tak lengkap.


FEMINISME adalah barat. Feminisme adalah anti laki-laki. Feminisme adalah menolak punya anak dsb.: beberapa stigma negatif tersebut masih menjamur di benak sebagian masyarakat kita tentang kehadiran dan diskursus feminisme. Memang, gerakan kaum perempuan tersebut pertama kali nongol di Barat, di abad ketika semangat berpikir, kesadaran dan ilmu pengetahuan menemukan denah lain di luar keterpasungan makna. Namun, banyak orang di luar “Barat” kemudian menjadi ragu dan yakin menolak konsep feminisme dengan asumsi ketidakcocokan konsepsi-kultural. Padahal, bantah kaum feminis, pada dasarnya feminisme naik kepermukaan sejarah sebagai gerakan kepedulian terhada nasib perempuan dalam tragedy, bukan sebuah ideologi kasar product Barat. Pun sentimen Barat memang masih melekat dalam pola pikir di sebagian masyarakat; seolah-olah Barat adalah “bangsat” tanpa lebih bijak menerima sisi positifnya. Secara substantif, feminisme muncul dari semangat pembebasan yang berawal dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan telah terjebak dalam narasi labirin ketertindasan dan eksploitasi patriarchy (ideologi lelaki). Para feminis—bukan feminin—hadir di panggung sejarah dalam ekspresi sebuah pengajuan spirit yang mendasar: perempuan pun berhak menerima kemerdekaan dan pilihan hidup sebagai manusia, bukan setengah-manusia (sub-human).

Feminisme—yang berarti hal-ihwal tentang perempuan, atau berarti paham mengenai perempuan. Secara historis, istilah tersebut muncul pertama kali pada tahun 1895; sejak itu pula feminisme dikenal secara luas. (Lisa Tuttle:1986). Feminisme sebagai sebuah gerakan, hadir pertama kalinya di Amerika akhir abad ke-19 atau awal ke-20 dalam rangka memperoleh hak untuk memilih (The Right to Vote). Kelak embrio spirit pembebasan perempuan itu menjalar ke pelosok dunia. Ada hal menarik sebagai klarifikasi dari kaum feminis bahwa paradigma feminisme bukan paradigma homogen dan konsepsi yang monolitik Perkembangan pemikiran feminisme adalah proses kontekstual. Itu sebabnya definisi feminisme menjadi multifaces, beragam dan dinamis sesuai realitas sosial, kultural dan situasi politik—sebuah pembacaan toleran terhadap dinamika dan pluralitas zaman. Meskipun proses paradigma, teori dan analisis dari ideologi banyak aliran feminisme di dunia berbeda-beda, tetapi memiliki titik kesamaan spirit dan kesadaran: kepedulian memperjuangkan nasib perempuan yang kalah.

Ada banyak aliran bermunculan di panggung sejarah, dengan corak paradigma yang tentu berbeda. Sebut saja aliran Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis, Feminisme Sosialis, Feminisme Multikultural, Feminisme Agama atau Teologi Feminis dan eco-feminisme. Kaum feminis, melalui alirannya masing-masing, mulai gencar mengajukan kritik terhadap realitas yang menelikung nasib perempuan—sebuah fitrah pembelaan dan pembebasan manusia untuk manusia. Tetapi perlu di catat, seorang feminis bukan suatu prototife jenis perempuan atawa lelaki dengan kategori karakter, pemikiran dan penampilan tertentu, kecuali bahwa ia menyadari adanya ketimpangan struktur dan tidak nyaman pada bentuk ketimpangan itu. Jadi, lelaki pun bisa menjadi seorang feminis selama ia memiliki concern dan kesadaran untuk mengubah ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Atau sebaliknya, perempuan bisa menjadi lebih patriarkis dari laki-laki. Maka, diakui ataupun tidak, feminisme bukan berarti adalah Barat, anti laki-laki, menolak melahirkan anak, teroris, pengacau, kafir dan stigma negatif lainnya.

Namun, proses gerakan feminisme kerap mengalami jalan terjal sepanjang sejarahnya. Dinamika perjuangan kaum perempuan dengan serta merta menerima penolakan, resistance (perlawanan) hujatan dan penggusuran dari kemapanan ideologi yang ada. Bahkan tak sedikit dari kaum perempuan sendiri pun gencar menolak kehadiran feminisme. Lantas, merebaklah golongan yang kontra-feminisme. Golongan ini berupaya menghendaki adanya status quo dan menolak mempermasalahkan kondisi mapun posisi perempuan. Struktur-fungsional masyarakat harus dipertahankan, agar tak terjadi konflik. Tentu saja, ketakutan golongan masyarakat tersebut terhadap konflik bisa berarti: bahwa konflik selalu mengisyaratkan perubahan sistem dan struktur—sebuah bentuk “kehancuran” yang tak diinginkan phallus. Ada cukup alasan pula kenapa penolakan terjadi; pertama, masih banyak masyarakat yang tak memahami substansi feminisme. Banyak orang mejadi “korban pengertian” tentang feminisme yang dianggap negatif. Kedua, perempuan kadung merasa betah menikmati penderitaan (masokism) dan masyarakatpun merasa diuntungkan oleh sistem dan struktur yang sejatinya timpang. Kondisi tersebut diperkuat lagi oleh sebuah kesimpulan: penolakan terhadap feminisme sesungguhnya merupakan manifestasi ketakutan akan perubahan. Akibatnya, kaum feminis pun masih mesti menerima pil pahit: sebuah nasib masih dan kian anyir dicabik dan diremehkan “sejarah”—sejarah yang berpenis; sejarah yang kian sinis membakukan sebuah logika phallus: mengamini feminisme adalah “bunuh diri”, adalah mengamini “kejatuhan” struktur dan sistem status quo paling purba dalam masyarakat “maskulinitas”; sejarah yang memberhalakan lelaki dan menganggap bahwa perempuan adalah sekunder dalam setiap hal—sebuah “kepastian” di tanah sejarah antah-berantah, sebuah paradoks nasib.

Imbasnya, reformulasi pola relasi dan kuasa antar lelaki dan perempuan yang diajukan feminisme dianggap sebagai ancaman terhadap kemapanan tradisi, institusi keluarga dan ideologi patriarki. Patriarki, menurut Weber, telah mendeskripsikan suatu organisasi kekuasaan sosial antara laki-laki sebagai pemimpin terhadap perempuan, anak-anak dan budak. Ia muncul dari apaknya logika keberbedaan dan reaksi keterancaman identitas. “Modus” patriarkis untuk memenuhi hasratnya kerap menggunakan “sihir” ideologi, kebijakan pemerintah, kategori normativitas, kultural, keyakinan tradisi, asumsi-asumsi ilmu pengetahuan dan tafsir-dalih agama. Mental patriarkis merupakan sebuah mental kolektif yang destruktif, membangun “yang-lain” diseberang nalarnya sekaligus memainkan mekanisme deformasi, stigmatisasi, mutilasi, reduksi terhadap identitas “lain”; sarat konspirasi egoistis dalam sepak-terjangnya—sebuah pengukuhan bahwa lelaki sebagai pusat kekuasaan dan perempuan objek yang dikuasai. Maka, dalam ketimpangan tersebut, kehadiran gerakan feminisme menjadi sebuah keniscayaan sejarah untuk “menampar” sistem yang “kurang ajar” dan membangunkan perempuan dari tidur ketertindasannya.

Dalam pada itu, para feminis menjadi sebuah bantahan sekaligus kritik yang konsisten terhadap ketidakadilan gender (gender-inequalities), rezim “kebenaran” dan “kenyamanan masokistis” dari sebuah konsensus seksis masyarakat yang mendaku kodrat, sakral, mutlak dan ora bisa dirubah. Ujung-ujungnya membakukan sebuah stereotype yang tajam bahwa lelaki superior dan perempuan inferior, sepanjang sejarah.

Menyusuri Tragedi di "Neraka" Patriarkal

Menyoal tentang stereotif yang menggambarkan binnerisme nilai gender, setidaknya perlu disimak pernyataan dua kubu yang satu sama lain bertentangan ini: para penganut teori nature berkeyakinan bahwa superioritas laki-laki diperoleh karena secara alami mereka lebih unggul dari kaum perempuan. Sedangkan di pihak lain, para penganut teori nurture membantah, bahwa basis superioritas laki-laki bukan karena perbedaan alami antara laki-laki dan perempuan, tetapi karena proses sosial tertentu. Pernyataan penganut nuruture tersebut diimani oleh tesis populer kalangan feminis bahwa memang ada perbedaan mendasar antara “seks” dan “gender”. Seks merupakan jenis kelamin biologis, seperti penis dan vagina, sifatnya permanen sebagai produck Tuhan atau kodrat. Sedangkan gender merupakan pensifatan atau pelabelan sosial, sebuah konstruksi sosial-kultural yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan, sifatnya relatif, temporal bahkan bisa berubah, misalnya perempuan makhluk lemah, cengeng, manja, emosional, pasif dst.; laki-laki kuat, tegar, tegas, macho, rasional, aktif dst.. Kelak, “mesin” patriarkal mencampuradukan perbedaan keduanya bahkan dibakukan. Malangnya, pembakuan stereotif atau pensifatan tersebut kemudian berimbas pada diskriminasi, marjinalisasi, subordinasi dan kekerasan terhadap perempuan dikemudian hari. Itulah mata rantai bentuk-bentuk ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan dalam sejarah manusia.

Mata rantai ketidakadilan kemudian hadir dalam akumulasi dehumanisasi. Perempuan yang di vonis kelas kedua (second sex), menjadi korban. Marjinalisasi, misalnya, sebagai akibat dari pelabelan (stereotype) negatif terhadap eksistensi perempuan, telah meminggirkan perempuan dari arus utama kesejahteraan di masyarakat. Ideologi lelaki, yang telah menjadi penyakit akut sosial, mengembangkan citra minor bagi perempuan dengan menolak, menghilangkan dan merendahkan pengalaman, nilai dan kepentingan perempuan sebagai suatu kelompok. Kemiskinan perempuan buah dari domestifikasi dan pembagian peran menurut jenis kelamin yang timpang adalah deskripsi nyata. Masyarakat membangun “penjara” rumah (domestic) bagi perempuan dan serta merta mengeksekusi kemerdekaannya untuk menentukan pilihannya berkiprah di ranah publik. Perempuan dibentuk untuk sepakat pada satu ketentuan: nikmati rumah 24 kali jam, kasur-sumur-dapur—sebuah lingkaran yang panjang dan maha sepi.

Simone de Beavoir, dalam The Second Sex, menggambarkan banyak perempuan lansia merasa menyesal hanya karena selama ini terpatok pada rutinitas pekerjaan dan rumah tangga yang terus menerus berlangsung secara monoton dan menyita hampir seluruh waktu di sepanjang hidupnya, membereskan rumah, mencuci, bersolek, serta mengurus anak. Gawatnya, pekerjaan-pekerjaan itu dianggap kodrat perempuan, skenario Tuhan dsb, Padahal itu hanya sebatas kesepakatan dan konstruksi sosial-kultural. Akibat anggapan keliru tersebut, akses dan potensi pekerjaan yang produktif dan bernilai ekonomis di ranah publik akhirnya tertutup dan budaya ketergantungan ekonomi perempuan terhadap laki-laki, bapak ataupun pacarnya semakin membengkak. Ditambah lagi dengan persoalan beban kerja ganda. Misal, dalam keluarga miskin, si isteri akan terpanggil untuk membantu suaminya cari nafkah, sementara ia harus mengerjakan pekerjaan domestik yang tak kunjung di bayar (unfaid work). Kerja domestic bukan kesalahan bagi perempuan, memang. Tapi kerja public pun bukan kesalahan pula bagi perempuan. Toh tanggung jawab pekerjaan domestik bukan hanya tanggung jawab isteri (perempuan) saja., suami pun dituntut untuk bertanggung jawab mengurus anak, mencuci, memasak dan sebagainya. Ironisnya, ada hadits yang memerintahkan perempuan untuk selamanya tinggal dirumah, untuk mengikuti perintah suami dan melayani segala kebutuhannya. Teks hadits itu dikutip Imam Al-Ghazali (w.505H) dalam magnum opusnya Ihya uluumd-din dan Imam Nawawi (w. 1315H) dalam kitab Uquud al-Lujjan. (Rahima No.7:2003). Tetapi kemudian diduga hadits itu lemah dari sisi sanadnya, meski telah terlanjur tersebar dalam kitab-kitab maupun buku-buku kurikulum. Bahkan lebih ironinya, hadits-hadits bersangkutan dijadikan hujjah bagi para pendakwah untuk melarang perempuan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seperti yang dinyatakan Syekh Muhammad al-Ghazali, dalam Sunnah an-Nabawiyyah (1992:51).

Namun, meskipun kini tak sedikit perempuan yang mulai beraktivitas di ranah publik, tetap saja berkutat di sektor-sektor dan posisi marjinal (hamisy). Buruh cuci, atau pembantu rumah tangga dan semacamnya; bukan pekerjaan yang menuntut keahlian seperti di sektor iptek. Feminis sosialis, misalnya, melihat hal tersebut sebagai proses reduksi (reducing process) dan alienasi yang dialami perempuan dalam sistem patriarki dan relasi di masyarakat. Bulan Januari 2006 yang lalu, di Gunung Kidul, sekedar sampel, ada tragedi tentang kemiskinan perempuan. Seorang Ibu bernama Ruhiem (36) dan ketiga anaknya mencampur racun tikus dengan nasi dan mereka nekat memakannya, mati. (Pikiran Rakyat 13/1). Sungguh kejadian itu sebuah—meminjam bahasa Mas Goenawan Muhammad—kebrutalan yang anggun. Ruhiem prustasi. Ia dan ketiga anaknya dilanda tsunami kemiskinan setelah ditinggalkan suaminya. Ketergantungan finansial Ruhiem pada si Aa-nya yang ilang akibat tak adanya pendapatan ekonomi alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga.

Tak hanya itu, sebelum tragedi Ruhiem, kejadian lebih tragis berupa pembakaran anak oleh ibunya sendiri terjadi di bulan yang sama. Suaminya mabuk dan tidak memberinya nafkah. Begitulah, kemiskinan memang lebih akrab dengan perempuan akibat marjinalisasi yang dilakukan sistem di masyarakat yang seksis, paternalistik. Getir, memang. Bahkan menurut Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1998 menunjukkan bahwa sebanyak 3.485.05 (25,31%) lansia masuk dalam kondisi terlantar. (JP:26) Fantastis! Lalu berapa persenkah di tahun yang akan datang? Dalam keadaan nasib seperti itu, bagaimana perempuan, dapat mendefinisikan dirinya, nasibnya?

Selain marjinalisasi, bentuk ketidakadilan lain terhadap perempuan adalah subordinasi. Stereotif masyarakat bahwa perempuan irrasional, cengeng atau emosional menciptakan keraguan terhadap potensi perempuan; maka lahirlah kesempitan gerak—bukan kesempatan gerak—bagi perempuan untuk berkaprah lebih dinamis dalam posisi penting. Hilangnya akses pendidikan bagi perempuan, misalnya, adalah bukti bahwa perempuan masih dipandang “abnormal” dan diremehkan masa depannya. Anggapan bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga” adalah ‘ajaran’ yang masih dipegang teguh di sebagian masyarakat. Dari data BPS yang dilansir Jurnal Perempuan, no. 23: 2002, misalnya, mulai tahun 1980-1990, menunjukkan bahwa rata-rata angka masuk perempuan ke lembaga pendidikan lebih kecil bila di bandingkan dengan angka masuk laki-laki. Di tingkat SMA; 41.45 %:58.57%, dan di perguruan tinggi; 33.60%:66.40%. tragis! Padahal, pendidikan adalah investasi jangka panjang bagi masa depan nasib perempuan kelak.

Dalam politik, apalagi. Proses subordinat terhadap perempuan masih kentara. Masyarakat politik mencari legitimasi sebanyak-banyaknya untuk efektivitas modus penindasan dan segregasi (pemisahan) terhadap kaum Hawa dari ajang kompetisi publik. Seolah perempuan “dikutuk” untuk tak punya hak membuat keputusan. Mengenai hal tersebut, ada ungkapan satire seorang penulis: “lelaki membuat keputusan, perempuan membuat teh.” Dalam ilustrasi terebut, jelas wewenang keputusan berada di laki-laki, sedangkan perempuan hanya di beri hak melayani suami saja, karena—menurut masyarakat patriarkal—perempuan itu irrasional, emosional dan tak tegas mengambil keputusan. Perempuan adalah setengah “lelaki”, tak lengkap, manusia yang tak sempurna dan sebagainya. Padahal emosional dsb itu adalah gender, masih banyak perempuan yang rasional dan tak sedikit lelaki yang irrasional—dalam kebijakan politik sekalipun.

Bahkan, agama dihadirkan dan dianggap paling efektif dijadikan legitimasi untuk menindas kaum perempuan. Legitimasi religius, bisik Peter L. Berger, merupakan legitimasi yang paling tinggi, sebab ia melampaui hal-hal yang supra empirik, ia dipandang sebagai the sacred company (langit-langit suci) untuk pelindung. (Abdi Mustaqim MA.:2003). Terkait pernyataan tersebut, ternyata ada kesulitan memisahkan isu agama dari dunia politik: bahwa perempuan haram jadi pemimpin. Fiqh politik sepakat pada fatwa tersebut. Hal itu tentu saja dengan melempar dalih adanya asumsi inferioritas perempuan dalam pemahaman agama (baca: tafsir) yang diklaim “tuhan” dan tabu untuk disentuh dalam sebuah dekonstruksi—pinjam istilah Deridda. Persoalannya, tafsir pun sepanjang sejarah muncul dalam male domination dan di imani dengan mutlak oleh banyak masyarakat. Fiqh itu dijadikan mainan laki-laki. Akibatnya, tafsir seksis menjamur dan akhirnya menindas nasib perempuan berabad-abad lamanya, setelah akhirnya teologi feminis hadir dan mulai menggusur “tuhan seolah-olah” yang liar tumbuh di denah sejarah keberagamaan.

Padahal, perlu dicatat, tafsir bukan agama. Memang, dalam dataran normatif ilahiyah kebenaran al-Qur`an adalah mutlak, namun dalam dataran historis-interpretatif, kebenarannya relatif. Karena proses tafsir pada akhirnya adalah proses pemahaman yang tak terlepas dari sebuah reduksi; sebab bahasa manusia tak akan kunjung sempurna menangkap firman. Bahasa memiliki keterbatasan (the limits of language). Tafsir akan selalu berubah karena berhubungan dengan sosio-kultural waktu tafsir tersebut lahir. Perubahan tafsir kitab suci yang dapat memenuhi kebutuhan zaman sekarang menjadi sebuah keniscayaan. Bahkan ada hadist Nabi yang mengatakan: “bahwa seseorang dikatakan faham tentang al-Qur`an, sehingga ia dapat mengetahui banyak ragam penafsiran di dalamnya.” Oleh karena itu, tafsir feminis berusaha menangkap semangat atau ruh dari ide yang ada dibalik teks al-Qur`an. Mereka cenderung untuk menganggap bahwa ayat-ayat lebih bersifat kontekstual, bukan merupakan statemen normatif yang bersifat state of being, melainkan state of becoming. Maka, ayat-ayat yang bicara tentang hukum warisan, poligami, jilbab persaksian dll., hanya menjelaskan realitas sosio-historis masyarakat Arab zaman dulu. Oleh sebab itu, kini diperlukan tafsir yang berbasis gender dan tak diskriminatif, mulai menolak tafsir-tafsir misoginy (membenci perempuan) dan meruntuhkan pemahaman keagamaan yang sarat “hasrat” laki-laki serta menggugat fantasi patriarkal bahwa citra Tuhan itu maskulin, laki-laki.

Kembali mengenai subordinasi dan vonis inferioritas perempuan. Riffat Hassan, seorang feminis muslim, telah menunjukkan bahwa matrik kultural yang menekankan posisi inferior perempuan dan menjadi pra-tex dalam membaca al-Qur`an adalah disebabkan oleh tiga asumsi teologis yang keliru; pertama, karena perempuan dianggap diciptakan dari tulang rusuk Adam (laki-laki). Kedua, bahwa hawa (perempuan) adalah yang bertanggung jawab atas kejatuhan Adam dari surga. Ketiga, bahwa tujuan diciptakannya perempuan adalah hanya untuk (melayani) laki-laki. (Trisno S. Susanto: 1998). Apalagi jika hal itu dibarengi dengan legitimasi ayat al-Qur`an surat an-Nisa:34: arrijaalu qowwaamuun `alannisaa…Maka semakin lengkaplah inferioritas dan subordinat kaum perempuan untuk mendapatkan hak menjadi pemimpin. Dalam sejarah penafsiran, para feminis muslim silih berganti menafsirkan “qawwaamuun” dalam ragam makna; diantaranya Fazlur Rahman. Menurutnya, kutipan ayat dalam surat Annissa: 34 tersebut mesti dimaknai dalam pengertian fungsional, bukan perbedaan hakiki. Artinya jika seorang isteri dibidang ekonomi, misalnya, dapat berdikari atau berdiri di kaki sendiri, baik karena warisan maupun hasil sendiri, dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang karena sebagai seorang manusia ia tidak memiliki keunggulan dibandingkan dengan isterinya.

Lantas Amina Wadud sepakat, bahwa kalimat arrijaaluu qawwaamuun `alannissaa tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki secara otomatis sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional, yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur`an: memiliki kelebihan kualitas dan kemampuan. Dan ini jelas tidak hanya berlaku bagi lelaki melainkan juga bagi perempuan juga. Pun ayat selanjutnya pun menggunakan ungkapan: bimaa fadhdhalallaah lahum `ala ba`dh, “sebagian laki-laki”, bukan dengan ungkapan: bimaa fadhdhala al-rijaal `alaa annisaa. Maka, pendeknya, tak ada larangan pada hakikatnya dalam al-Qur`an untuk perempuan jadi pemimpin selama ia memiliki kemampuan, potensi dan kualitas yang lebih. Kini, alhamdulilliah, tak sedikit perempuan sudah mulai diberi hak untuk memasuki ranah politik, dalam rangka Affirmative Action guna memberikan kesempatan dan kans seluas-luasnya bagi perempuan berkiprah dan mengaktualisasikan potensinya di ranah politik. Mudah-mudahan ia “diberi hak” pula untuk membuat kebijakan penting dan strategis, bukan sekedar perempuan hanya jadi pelengkap, pangjeujeug, figuran ataupun sekedar “meminjam” partisipasi untuk kepentingan persyaratan legalitas semata dalam mekanisme-formal politik dan demokrasi belaka.

Tragedi perempuan memang belum berhenti. Ada bentuk ketidakadilan lain, yakni kekerasan (violence) terhadap perempuan. Kekerasan, tulis Mansur Faqih (2001), adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Gender-Related violence. Kekerasan gender pada dasarnya muncul dari matinya kesetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Bentuknya bisa bermacam-macam; misalnya, pemerkosaan terhadap perempuan, pemerkosaan keur dalam pacaran (dating rape) maupun dalam perkawinan (marital rape)—cenderung permintaan pelayanan seksual tanpa mempertimbangkan mood pasangan dan berakhir dengan paksaan. Boleh jadi si korban tak melawan disebabkan ancaman, di bius, keterpaksaan ekonomi, ketakutan, malu dan sebagainya. Ada banyak lagi bentuk kekerasan terhadap perempuan: domestic violence berupa haok-gaplok (pukulan) terhadap isteri dan anak-anak, genital mutilation berupa penyunatan perempuan, penyelenggaraan prostitusi oleh mekanisme ekonomi kapitalis, kekerasan nonfisik berupa pornografi dimana tubuh dijadikan objek demi kepentingan seseorang atau kelompok, praktek kekerasan sublim seperti poligami, program KB, atau molestation, berupa tindakan pelecehan pada bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa “lisensi” si pemilik tubuh. Bahkan ada yang menarik dari bentuk kekerasan yang ditulis Mansur Faqih dalam Analisi Gender (2001): sexual and emotional harassment, pelecehan seksual. Kekerasan jenis ini yang banyak dikonsumsi masyarakat. Sekedar contoh, seorang dosen meminta imbalan seksual kepada mahasiswinya dengan janji mengeluarkan nilai mata kuliah bagi yang bersangkutan—sebuah parole yang konyol. Atau bahkan menyampaikan lelucon jorok dan vulgar yang bikin perempuan malu setengah mati.

Itulah sederetan deskripsi tragedi yang telah menempa nasib perempuan. Bahkan di Indonesia yang notabene mayoritas berpenduduk Muslim ataupun di kampus yang berbasis Islami sekalipun, mental patriarkis dapat hadir, dehumanisasi dan diskriminasi bisa dirayakan. Masyarakat muslim patriarkis sudah lupa pada teladan agung Nabi Muhammad; bukankah ia seorang feminis sejati yang agenda jihad-nya telah mengangkat martabat perempuan dari cengkraman masyarakat patriarki tempo doeloe, ketika zaman adalah bayi perempuan dianggap nista dan dikubur hidup-hidup? Thus, banyak cara yang dilakukan masyarakat patriarki untuk mengeksploitasi eksistensi perempuan. Sebuah legitimasi sangat mereka perlukan untuk mempertahankan status quo penindasan terhadap perempuan. Dengan begitu, perempuan akan “mabuk” dalam ketidaksadaran bahwa telah terjadi ketimpangan dalam relasi sosial. Perlawanan perempuan pun akan dapat di “aborsi” sedemikian rupa.

Akibatnya, dari ketidaksadaran dan ketakutan atau malu korban untuk melapor, banyak kasus diskriminasi yang akhirnya tak terungkap dan malah perempuan sendiri menikmati tragedi dan “neraka” penindasan sebagai seorang masokis yang justru kondisi tersebut dapat membakar habis fitrah, potensi, eksistensi dan masa depan kemanusiaannya. Dalam kondisi seperti itu, kelahiran spirit pembebasan feminisme di tiap individu menjadi sebuah keharusan, baik bagi perempuan maupun laki-laki sebagai mitranya. Agar tercipta sebuah pembebasan (taharrur), kesadaran baru (new consciousness) dan terbentuknya relasi gender yang setara, harmonis dan berkeadilan dalam masyarakat. Pergilah, bekerjalah untuk mewujudkan cita-citamu, sebuah kutipan surat Kartini tercacat penuh cinta, untuk seluruh perempuan. Maka, salah satu pertanyaan paling penting yang patut diajukan untuk sejarah perempuan adalah: sudah siapkah perempuan untuk merdeka? Wallahu`alam.

Kampus, 14-15 Januari 2006
*Aktivis Women Studies Centre (WSC).

Label:

posted by wscbandung @ 03.14, ,